Tampilkan postingan dengan label learning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label learning. Tampilkan semua postingan

14 Nov 2013

Waktu yg "tidak boleh" Terbuang

Minggu ini bener2 minggu yg melelahkan. Kerjaan kantor yg padat dan overload, sampai harus memperhitungkan kerjaan mana yg perlu di dahulukan.

Sampai akhirnya muncul pembicaraan antara ibu dan anak sebagai berikut :

Anak : Mama, kenapa yang jemput Athar harus eyang terus... Eyang terus... Kenapa mama ga mau jemput Athar pulang .... 
Mama : (Masih di depan PC ngerjain kerjaan kantor yg dibawa pulang) 
Mama : maaf ya Nak, mama blm bisa jemput Athar pulang sekolah, krn mama masih rapat waktu Athar pulang sekolah, jadi yg jemput sementara eyang dulu.
Anak : Mama kenapa pulangnya malam terus malam terus, harusnya kan kl pulang sore (jam kantor mulai jam 07.00-15.30).
Mama : (diam... Dan secara refleks mematikan PC ) Yuk kita main sama2... Sekarang Athar mau main apa sama Mama... 
Athar : (tersenyum sambil menggandeng tangan Mama) Athar mau main ular tangga Ma, trus habis itu mau kartu trus main apalagi ya... Eemmm....

(Berjalan sambil meninggalkan dering telepon yg berbunyi di dalam kamar)


(Tatapan yg menghilangkan kejenuhan rutinitas kantor) 

13 Mei 2013

Sekolah di Jepang VS Sekolah di Indonesia

Link yang saya kutip dari Bidrians Abidin lewat media sosial FB, semoga bisa membuka/menggugah para pendidik di Indonesia.

{{ Sekolah di Jepang VS Sekolah di Indonesia }}

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.

14 Agu 2012

1st day menyusui ‏by @irawatib #1

Sepintas baca TL di twitter, ada sesuatu yg menarik....
Walapun saya sudah tidak dalam masa menyusui lagi, namun TL punya mb Irawati Budiningsih  (@irawatib) cukup menggelitik utk sell aku pantau dan ikuti... Semoga post kali ini bisa membantu Bunda/Mama/Ibu ...

Banyak calon ibu yg gak tau,bhw setelah kita melahirkan bayi, ibu juga 'melahirkan' plasenta yg mempengaruhi hormonal ibu 

Keluarnya plasenta,meluruhkan level hormon estrogen&progesteron scr drastis,sementara prolaktin tinggi  

Prolaktin ini yg memproduksi  jd secara teori,ibu stlh melahirkan ya pasti ada kok  nya :)  

Perubahan hormon scr drastis itu lah ygsuka bikin emosi ibu gak stabil.Seneng bgt,tp sedih pas ditinggal suami pulang  

Nah,biasanya  baru terasa benar2 banjir di hari ke3 atau 4 tuh..yg sblm2nya masih  yg jmlnya mmg sedikit  

Yg paaaaling penting pada hari2 pertama stlh melahirkan adlh : belajar cari posisi  yg nyaman utk ibu&bayi | 

Explore semua posisi  yg memungkinkan selain posisi konvensional. Coba tiduran, miring, rebahan. Cari yg plg nyaman |

Selain posisi, perhatikan perlekatan mulut bayi ke payudara ibu. Kalo perlu,minta bantuan konselor menyusui utk cek |  

Utk ibu2 yg c-section tantangannya mmg dobel nih,jd bapak2nya kudu extra jadi cheerleader :D  

Anastesi spinal & epidural 'melumpuhkan' ibu yg c-section,jd butuh bantuan suami banget utk memposisikan,dll  

Produksi  terpicu oleh hormon yg diproduksi pd saat bayi menyusu pd payudara. Jad konsenlah utk sering2 dihisap bayi  

Bayi asia memang cenderung mengalami jaundice (kuning),jadi persiapkan info ttg jaundice ya |  

Wkt msh di rahim,bayi punya sel darah merah lbh byk yg didpt dr oksigen yg dibawa dlm hemoglobin di seldarah merah ibunya  

Stlh lahir,bayi mhirup oksigennya sendiri&scr otomatis memecah hemoglobin tdk tpakainya jd bilirubin yg dibuang lwt pup 

Kadang fungsiliver newborn blm efisien,makanya bilirubinnya tdk sgr keluar bsama mekonium(pup hitam),jd kuning kekulitnya|

Physiologic jaundice ini tjd di hari2 awal bayi stlh lahir. Tingkatkan frekuensi  & makesure bayi menyusu efektif | 

Pathologic jaundice tjd krn rhesus ibu&bayi berbeda atau ABO incompatibility (ibu O, bayi A/B/AB)  

Tapi apapun jenis jaundice nya,tdk ada alasan utk stop (bahkan bila breastmilk jaundice sekalipun) | 

Karena di  banyak mengandung zat pencahar yg baik utk peluruhan bilirubin di tubuh bayi |  

Bila dokter anak mengharuskan utk treatment fototerapi, ayah&ibu hrs reaktif memantau.Ingat,bayi ttp perlu minum utk kluarin bili | 

Bayi jaundice jg pengantuk,jd spt nggak haus/laper & disangka ogah menyusu.Perlu usaha ekstra utk membuat dia menyusu | 

Common mistakes di benak ortu/nenek-kakek adlh "biar aja sering2 difototerapi/jemur biar jaundicenya cpt ilang" |  

Pdhl yg bikin bilirubin wahed away dari badan bayi lwt pup&pipis adlh cairan.  mempercepat krn ada zat pencahar :) |  

Another common mistakesnya "jgn  kan msh dikit,mending sufor aja" -- pdhl kl gak dikluarin, payudara bengkak,demand turun,supply turun


Next adlh ttg:BEDONG!boleh gak sih dibedong?Ah tp kl gak boleh,kok di RS yg udah proASI proRUM pun bayinya dibedongin?☺ | 


+Bedong : bfungsi menghangatkan/menyamankan bayi spt dlm rahim | -Bedong : less skin2skincontact&posisi bdn tdk tlihat |  

Sebaiknya saat  bedong dibuka,maksimalkan kesempatan skin2skin contact &cek posisi (kepala,leher,perut segaris) |

Selain bedong,pemakaian sarungtangan jg perlu dipertimbangkan.Krn bayi berkomunikasi jg melalui kepalan tangannya lho ☺ |  

Salah1 tanda bayi lapar adlh mengepalkan tangan  

Nanti kl sdh mulai terisi lambungnya,kepalannya membuka.Ini gak akan terlihat kl pk sarungtangan kan?  

Untuk lebih lanjutnya, bisa langsung ikuti terus TL dari mb Ira ya... 
O iya ada lagi yg menarik... ttg bayi pengantuk dan bayi cuek... Nanti akan saya bagikan TL nya 







6 Mar 2012

Estetis vs Fungsi #Archdesign

Sebenernya postingan kali ini merupakan bentuk kepedulian ketidaknyamanan saya terhadap apa yang nampak/terlihat di mata saya.. Gimana ga nampak, kalo hampir tiap hari selalu dilewati a.k.a berada di sepanjang kantor saya... Dan gimana ga peduli, mengingat jaman kuliah selalu ditekankan pentingnya arti fungsi disamping nilai keindahan (=baca estetis)  pada bangunan . Gemes sendiri jadinya kalo melihat hal-hal semacam ini...
Pedestrian khusus  jalur tuna netra
Sudah tau kan..  kalo hampir di sebagian kota, minim sekali fasilitas umum (=fasum) khusus untuk para penyandang cacat. Beberapa kota, seperti Jakarta, Yogyakarta sudah terlihat fasum untuk penyandang cacat tuna netra Contoh kecilnya pedestrian di sepanjang jalan Malioboro. Nah, Pemerintah Kota Semarang pun mulai meng-cover beberapa kebutuhan fasilitas umum untuk bisa digunakan ke semua lapisan masyarakat, termasuk untuk  penyandang cacat tuna netra. Ini merupakan tanda kepedulian Pemda dalam mengakomodir langkanya kebutuhan akan fasilitas umum, utamanya pedestrian bagi para penyandang cacat.  Pedestrian untuk tuna netra dapat terlihat dari adanya perbedaan warna dan tekstur pada material pedestrian [warna kuning]. Setau saya, pengguna pedestrian yang diperuntukkan untuk tuna netra lebih  diprioritaskan, baik itu akses, kemudahan dan kenyamanan. 
Tapi.. apa yg dijumpai ternyata tidak se-indah apa yg seharusnya terfungsikan (=dapat difungsikan). 
Terkadang... saya membayangkan saya berjalan sambil menutup mata, dengan menggunakan bantuan tongkat (cmiiw) untuk menuntun saya dalam berjalan. Coba dey kalian ikut membayangkan.... 
Apa yg terjadi???? Saya yang berusaha mengandalkan indera peraba saya melalui tongkat penuntun pasti akan mengalami kesulitan... Mau ga susah gimana coba...Berjalan dibantu tongkat penuntun saja perlu usaha agar terbiasa... Apalagi berusaha mencermati/merasakan pola jalur yang disediakan di pedestrian itu... Beberapa jalur ada yang dibuat berkelok hanya untuk memasukkan unsur estetis pada pola lantai [pic. 1 & 2], ada juga jalur yang dibuat berkelok demi menghindar tiang listrik yang sudah ada sebelum jalur itu dibangun... [pic 3]
 [pic .1]
 [pic.2]
[pic.3]
Nah... bisa kalian bayangkan juga??? Jika kalian berada di posisi seperti itu??
Mengingat pedestrian yang dibuat untuk menambah nilai plus fungsi pedestrian itu sendiri, bukan semata-mata untuk nilai keindahan... Ini hanya bentuk kepedulian saya semata..  karena terlihat begitu nyata di mata saya... Semoga yang saya lihat, yang nampak oleh mata saya, hanya terjadi di median yang saya lalui saja... 

6 Okt 2011

5 Jul 2011